Ditulis oleh

Ragil Satria Wicaksana, SEI., MSI., RIFA

Dosen S1 Prodi Perbankan Syariah Universitas Alma Ata

Pernah dalam satu diskusi kalian merasa bahwa apa yang dibicarakan oleh kita terasa berputar dan tidak berakhir pada kesimpulan? Bisa juga muncul perasaan bahwa apa yang kita bicarakan seakan menggunakan sumber rujukan yang kuat karena meminjam pendapat tokoh yang dianggap terkenal? Nah beberapa hal yang dituliskan di atas, itu semua disebut kesalahan dalam berpikir (Logical Fallacy). Mahasiswa sangat berpeluang besar mengalami gejala ini, dan kita perlu sadar apakah suatu diskusi itu perlu untuk dilanjutkan atau tidak dengan mengidentifikasi beberapa hal.

Pertama, bahaya confirmation bias atau ketidakjelasan konfirmasi. Mahasiswa biasa ketika membuat suatu dugaan akan mencari sumber-sumber referensi termasuk bukti empiris yang secara langsung mendukung pemikirannya. Sisi buruknya, mereka akan mengabaikan atau justru menyembunyikan hasil temuan lain yang bersebarangan dengan asumsi atau dugaan yang dibangun. Hal ini menjadi perilaku yang kurang etis lho sebenarnya, kenapa? Karena kebenaran riset, berlaku universal. Kita hanya perlu menjelaskan temuan apa adanya dengan menjelaskan fakta apa yang mendukung atau tidak mendukung dugaan kita.

Kedua, disebutnya hasty generalization atau generasi yang terburu-buru. Kenapa berbahaya? Mahasiswa cenderung melakukan klaim instan hanya karena bersumber pada cerita dan referensi yang terbatas. Lantas, mengatakan kepada forum bahwa hal itu berlaku dalam konteks yang luas. Ibaratnya, kita hanya melihat bahwa kucing itu terdiri dari empat warna dasar yaitu abu, hitam, putih dan oranye. Kemudian mengatakan kepada forum, bahwa semua ras kucing yang ada di Indonesia hanya ada empat itu saja. Kenyataannya, kita bisa melihat kucing tiga warna dalam 1 tubuh yang disebut orang jawa kembang telon, atau global menyebutnya calico.

Ketiga, circular reasoning atau penalaran berputar. Mahasiswa cenderung memberikan keterangan yang kompleks, namun tidak berakhir pada kesimpulan apapun. Tidak disertai dengan contoh yang jelas dan sumber yang kuat. Menggunakan pendapat pribadi yang seakan-seakan itu penting, namun tidak cukup fakta yang mendukung pendapat atau pernyataan tersebut.

Keempat, authority fallacy atau kesalahan otoritas. Hati-hati banget dengan masalah satu ini, khususnya waktu mahasiswa di fase memberikan pendapat pamungkas. Mereka sering terjebak dengan kata-kata, menurut dosen saya, tokoh terkenal pernah menyampaikan pendapat ini, saya pernah mendengar orang ini menyampaikan, nah itu gelaja pasti bahwa mahasiswa terjebak pada kesalahan otoritas.

Cara berpikir ini perlu diperbaiki ya, bukan dihilangkan. Kenapa? Karena sebenarnya mahasiswa yang mengalami empat gejala di atas sudah memiliki rasa ingin tahu dan kegelisahan akedemik yang baik. Hanya saja, belum dikuatkan dengan modal literasi yang komprehensif. Jadi apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa untuk keluar dari jebakan itu? Jawabnya sederhana, dalam dunia akademik tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak. Kita hanya perlu membaca, mendengar dan berdiskusi untuk menemukan hal baru. Jangan terjebak pada pendapat pribadi yang seakan paling benar, karena ini justru menjadi mentalitas penolak dan kaku, biasa disebut Fixed and Denial Mindset. Mahasiswa harus kritis, analitis dan adaptif dengan perubahan agar selalu menjadi insan pemikir yang Growth Mindset, di manapun berada mampu tumbuh dan berdampak.