Ditulis oleh Ragil Satria Wicaksana, SEI., MSI., RIFA

Dosen S1 Prodi Perbankan Syariah Universitas Alma Ata

Kali ini ada informasi menarik lain yang wajib dibaca oleh cendekia muda tentang istilah mahasiswa “hening” dan mahasiswa “pusing”. Sekilas, definisi secara spesifik tidak perlu dijelaskan panjang lebar namun pemahaman singkatnya perlu untuk dipahami bersama. Ditinjau dari sisi bahaya, keheningan yang menghinggapi mahasiswa saat ini bisa dikategorikan masuk pada tingkatan yang cukup ekstrim. Tidak sedikit dari mahasiswa yang hadir dalam perkuliahan, lebih memilih diam, hening tanpa membangun partisipasi aktif. Efeknya, proses kegiatan pembelajaran terkesan menjadi satu arah yakni Lecturer Centered Learning (Pembelajaran Berpusat Pada Dosen). Kondisi ini tentu jauh dari kata ideal, normalnya dalam proses pembelajaran di tingkat Perguruan Tinggi pada strata Sarjana, kontribusi seorang pengajar tidak lebih dari 50 persen di setiap perkuliahannya. Namun dengan keheningan yang terjadi pada praktik perkuliahan, membuat kesan story telling dari seorang pengajar adalah hal yang wajar.

 

Mahasiswa di era saat ini perlu untuk membangun antusiasme yang kuat mengenai tujuannya hadir dalam jenjang pendidikan tinggi sebagai pembelajar sepanjang hayat. Istilah populernya adalah life-long learner yakni subjek (pembelajar) yang mampu mengaktivasi seluruh sumber daya kecerdasan individu yakni aspek kognisi (pengetahuan), afeksi (perasaan) dan konasi (kehendak). Di sisi lain, masalah yang dihadapi oleh cendekia muda juga tidaklah mudah. Kemajuan teknologi secara langsung memiliki dampak signifikan dalam mendegradasi semangat mencari pengetahuan baru (curiosity). Makna kehadiran mahasiswa di kampus juga mengalami distorsi dari semula menjadi pembelajar yang hidup, aktif dalam berpikir dan bertindak, justru mengandalkan kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi tanpa berpikir panjang tentang informasi yang dibaca atau dituliskan apakah yakin benar ataukan semu (pseudo). Dalih atau alasan yang dibuat fokus pada alibi menguatkan prompt (perintah) pada Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) adalah bukti berpikir kritis dari seorang mahasiswa.

 

Banyaknya informasi yang tersebar di dunia maya karena adanya AI juga berdampak pada kesehatan mental seseorang. Istilah brainrot menjadi kasus nyata bahwa perlambatan fungsi otak dikarenakan semakin lemahnya kontribusi berpikir dari banyaknya hal yang tersebar. Di sisi lain, workslop yakni kondisi di mana seseorang menjadi lelah untuk menentukan mana hal yang benar dan perkara yang imitatif sehingga proses pengambilan keputusan semakin lama hanya dikarenakan memfilter informasi yang sudah beredar efek dari AI. Puncaknya, semakin sering kita mendengar masalah-masalah mentalitas atau kepribadian seseorang dikarenakan daya tahan dalam menghadapi konflik (resiliensi) justru semakin lemah.

 

Istilah sedang fase “pusing” menjadi hal yang semakin tabu dan juga langka dalam status sebagai peserta didik. Daya berpikir kritis dan pola observasi analitis menjadi ketrampilan yang justru mahal dari seorang mahasiswa, di mana seharusnya kompetensi ini secara alami dibangun dan diasah di jenjang Pendidikan Tinggi. Dosen diminta untuk senantiasa adaptif dalam menghadapi dinamika peserta didik yang semakin kompleks, ironisnya peserta didik justru kehilangan kendali atas dirinya untuk berpikir dan mengambil keputusan dikarenakan mendelegasikan ruang analitisnya melalui jawaban dan rekomendasi AI dalam kesehariannya. Dari tulisan ini, semoga menjadi refleksi bahwa penggunaan kecerdasan buatan itu akan memberikan makna ketika seorang peserta didik benar-benar memiliki kecerdasan nyata.